Oleh : Nurhayati
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
a. Pengertian
ISPA merupakan singkatan Infeksi Saluran Pernafasan Akut, istilah ini diadopsi dari istilah dalam bahasa Inggris, yaitu Acute Respiratory Infections (ARI). Penyakit ini menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Prabu, 2009). Menurut Susi (2003), penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak balita. Episode penyakit batuk pilek pada balita di diperkirakan sebesar tiga sampai enam kali per tahun, karena sistem ketahanan tubuh anak masih rendah. Infeksi saluran pernafasan atas mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil, tetapi dapat menyebabkan kecacatan misalnya otitismedia yang merupakan penyebab ketulian, Sedangkan hampir seluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan infeksi saluran pernafasan bawah akut, paling sering adalah pneumonia.
Menurut Justin, (2006) Istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. Pengertian atau batasan masing –masing unsur adalah sebagai berikut :
1) Infeksi
Adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.
2) Saluran pernapasan
Adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA secara otomatis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa (sinus-sinus, rongga telinga tengah) saluran pernafasan. Dengan batasan ini maka jaringan paru-paru (alveoli) termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract).
3) Infeksi akut
Adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Menurut Depkes RI (2002), pneumonia adalah radang paru akut dan merupakan infeksi saluran pernafasan akut yang menimbulkan banyak kematian pada bayi dan anak balita. Sedangkan, pneumonia balita adalah proses infeksi akut pada anak balita yang mengenai jaringan paru yang ditandai dengan adanya demam, batuk dan tanda atau gejala kesukaran bernafas seperti nafas cepat, tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam, atau gambaran radiologi dada menunjukkan infilrat paru akut.
b. Klasifikasi ISPA
Klasifikasi penyakit ISPA menurut Susi (2003), dibedakan untuk golongan umur di bawah 2 bulan dan untuk golongan umur 2 bulan – 5 tahun.
1) Golongan Umur Kurang dari 2 Bulan
a) Pneumonia Berat
Bila disertai salah satu tanda napas cepat yaitu frekuensi pernapasan sebanyak 60 kali permenit atau lebih disertai adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
Tanda klinis untuk pneumonia berat adalah:
(1) Tidak mau menyusu
(2) Kejang
(3) Rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun
(4) Demam (38oC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5OC)
(5) Pernapasan cepat
(6) Penarikan dinding dada cepat
(7) Sianosis sentral
(8) Serangan apnea
(9) Abdomen tegang
Penanganan : segera bawa ke rumah sakit, beri oksigen (jika anak mengalami sianosis sentral, tidak dapat minum, penarikan dinding dada yang hebat, gelisah), berikan terapi antibiotik.
b) Bukan Pneumonia (batuk pilek biasa)
Bila tidak disertai pernapasan cepat dan tanpa tanda pneumonia.
Penanganan : jaga bayi agar tetap hangat, berikan ASI sering, bersihkan hidung jika ada sumbatan.
2) Golongan Umur 2 Bulan-5 Tahun
a) Pneumonia sangat berat
Batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan sianosis sentral, tidak sanggup minum, penarikan dinding dada.
Pengobatan untuk pneumonia sangat berat yaitu :
(1) Rawat di rumah sakit
(2) Berikan oksigen jika frekuensi pernapasan lebih dari 70 kali permenit, terdapat penarikan dinding dada hebat, atau gelisah.
(3) Terapi antibiotik
Berikan kloramfenikol secara IM setiap 6 jam. Apabila anak mengalami perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari), pemberiannya diubah menjadi per oral. Berikan paling sedikit selama 10 hari. Apabila kloramfenikol tidak tersedia berikan benzilpenisilin ditambah dengan golongan aminoglikosida (contohnya gentamisin).
(4) Obati demam
Beri parasetamol 10 sampai 15 mg per kg berat badan, per oral setiap 6 jam, jika suhu aksila lebih dari 39oC.
(5) Perawatan suportif
Tingkatkan pemberian makan dan minum, bersihkan jalan nafas dan jaga suhu tubuh anak.
b) Pneumonia berat
Batuk atau kesulitan bernafas dan penarikan dinding dada, tetapi tanpa disertai sianosis sentral dan juga anak masih sanggup minum.
Penanganan pneumonia berat adalah :
(1) Rawat di rumah sakit
(2) Berikan oksigen jika frekuensi pernafasan lebih dari 70 kali permenit, tedapat penarikan dinding dada hebat, atau gelisah.
(3) Terapi antibiotik
Berikan benzilpenisilin secara IM setiap 6 jam paling sedikit selama 3 hari. Setelah anak membaik, ganti dengan pemberian ampisilin atau amoksilin secara oral, atau suntikan penisilin prokain per hari untuk menyelesaikan serangkaian pengobatan paling sedikit selama 5 hari. Pengobatan antibiotik sebaiknya diteruskan selama 3 hari setelah keadaan anak membaik.
(4) Obati demam
(5) Perawatan suportif
c) Pneumonia
Bila batuk atau kesulitan bernafas, pernafasan cepat tanpa disertai penarikan dinding dada. Batas nafas cepat ialah :
(1) Untuk usia 2 bulan-12 bulan = 50 kali per menit atau lebih.
(2) Untuk usia 1-5 tahun = 40 kali per menit atau lebih.
Penanganan pneumonia adalah :
(1) Obati anak dirumah
(2) Terapi antibiotik
(3) Nasehati ibu untuk memberikan perawatan di rumah yaitu dengan cara meningkatkan pemberian makan dan minum, nasihati ibu untuk tidak menghangatkan anaknya secara berlebihan.
(4) Obati demam
d) Bukan Pneumonia
Batuk atau kesulitan tanpa pernafasan cepat atau penarikan dinding dada.
Penanganan ISPA bukan pneumonia adalah :
(1) Obati di rumah
(2) Terapi antibiotik sebaikya tidak dilakukan
(3) Obati demam
(4) Nasehati ibu untuk memberikan perawatan di rumah
c. Etiologi
ISPA dapat disebabkan oleh bakteri, virus, dan riketsia yang masuk ke saluran nafas. Bakteri penyebab ISPA antara lain genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, Hemofilus, Bordetella, dan Corynebacterium. Virus penyebabnya antara lain: golongan Mexovirus, Adenovirus, Coronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus, dan lain-lain (Depkes RI, 2000).
Penyebab lain adalah faktor lingkungan rumah, Sampah sebagai bagian dari lingkungan, erat kaitannya dengan kesehatan masyarakat, karena dari sampah-sampah tersebut akan hidup berbagai mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri patogen) dan juga binatang serangga (vektor). sampah yang menumpuk dapat menjadi sumber penyakit saluran pencernaan seperti kolera dan disentri, serta penyakit infeksi saluran pernapasan akut atau ISPA (Depkes RI, 2002).
d. Tanda dan gejala ISPA
Menurut Somantri (2007), tanda dan gejala gangguan sistem pernafasan adalah :
1) Batuk
Batuk merupakan gejala utama pada pasien dengan gangguan sistem pernafasan. Tentukan batuk tersebut berdahak atau kering.
2) Peningkatan produksi sputum
Sputum merupakan suatu substansi yang keluar bersama dengan batuk atau tenggorokan.
3) Dispnea
Dispnea merupakan suatu persepsi kesulitan bernafas atau nafas pendek dan merupakan perasaan subyektif pasien.
4) Nyeri dada
Nyeri dada dapat berhubungan dengan masalah jantung dan paru-paru.
5) Demam
e. Penularan ISPA
Kuman penyakit ISPA ditularkan dari penderita ke orang lain melalui udara pernafasan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita. Penularan melalui udara dapat terjadi dalam bentuk droplet nuklei maupun dalam bentuk dust. Droplet nuklei yang keluar melalui mulut atau hidung baik waktu batuk atau bersin maupun waktu bicara atau bernafas, mempunyai ukuran yang berbeda-beda. Droplet nuklei merupakan partikel yang sangat kecil sebagai sisa droplet yang mongering. Pembentukannya dapat melalui berbagai cara, antara lain melalui evaporasi droplet yang dibatukan atau yang dibersinkan ke udara, dapat juga terbentuk dari areolisasi bakteri penyebab infeksi yang didalam laboratorium (Noor, 2000). Dust adalah bentuk partikel dengan berbagai ukuran sebagai hasil dari resuspensi partikel yang terletak dilantai, di tempat tidur serta yang tertiup angin bersama debu lantai/tanah (Noor, 2000).
f. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi ISPA
Secara umum terdapat 3 (tiga) faktor resiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor orang tua/perilaku.
1) Faktor lingkungan
a) Pencemaran udara dalam rumah
Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan memudahkan timbulnya ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah, bersatu dengan kamar tidur, ruang tempat bayi dan anak balita bermain. Hal ini lebih dimungkinkan karena bayi dan anak balita lebih lama berada di rumah bersama-sama ibunya sehingga dosis pencemaran tertunya akan lebih tinggi.
Hasil penelitian diperoleh adanya hubungan antara ISPA dan polusi udara, diantaranya ada peningkatan resiko bronchitis, pneumonia pada anak-anak yang tinggal di daerah lebih terpolusi, dimana efek ini terjadi pada kelompok umur 9 bulan dan 6 – 10 tahun.
b) Ventilasi rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara atau pengerahan udara ke atau dari ruangan baik secara alami maupun secara mekanis. Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut :
(1) Mengganti udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum bagi pernafasan.
(2) Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.
(3) Mengganti panas agar hilangnya panas badan seimbang.
(4) Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh, kondisi, evaporasi, ataupun keadaan eksternal.
(5) Mengatur suhu udara secara merata.
c) Lantai rumah
Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena lantai yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan.
d) Kepadatan hunian rumah
Kepadatan hunian dalam rumah menurut keputusan menteri kesehatan nomor 829/MENKES/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan rumah, satu orang minimal menempati luas rumah 8m2. Dengan kriteria tersebut diharapkan dapat mencegah penularan penyakit dan melancarkan aktivitas.
Keadaan tempat tinggal yang padat dapat meningkatkan faktor polusi dalam rumah yang telah ada. Penelitian menunjukkan ada hubungan bermakna antara kepadatan dan kematian dari bronkopneumonia pada bayi, tetapi disebutkan bahwa polusi udara, tingkat sosial, dan pendidikan member korelasi yang tinggi pada faktor ini (Prabu, 2009).
2) Faktor individu anak
a) Umur Anak
Sujumlah studi yang besar menunjukkan bahwa insiden penyakit pernafasan oleh virus melonjak pada bayi dan usia dini anak-anak dan tetap menurun terhadap usia. Insiden ISPA tertinggi pada umur 6-12 bulan.
b) Berat Badan Lahir
Berat Badan Lahir menentukan pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan normal, terutama pada bulan-bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernafasan lainnya. Penelitian menunjukkan bahwa berat bayi kurang dari 2500 gram dihubungkan dengan meningkatnya kematian akibat infeksi saluran pernafasan dan hubungan ini menetap setelah dilakukan adjusted terhadap status pekerjaan, pendapatan, pendidikan (Anonim, 2007).
c) Status Gizi
Anak balia merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kg berat badannya (Sediaoetama,2006). Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap pertumbuhan dan perkembangan anak dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik, kondisi kesehatan, tersedianya makanan dan aktivitas dari si anak itu sendiri. Penilaian status gizi dapat dilakukan antara lain berdasarkan antropometri : berat badan lahir, panjang badan, tinggi badan, lingkar lengan atas.
Keadaan gizi buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dengan infeksi paru, sehingga anak-anak yang gizinya buruk sering mendapat pneumonia. Untuk mencapai kesehatan yang optimal diperlukan makanan bukan sekedar makanan, tetapi makanan yang mengandung gizi atau zat gizi (Notoatmodjo, 2007). Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang “ISPA berat” bahkan serangannya lebih lama (Prabu, 2009).
d) Vitamin A
Balita yang mendapat vitamin A lebih dari 6 bulan sebelum sakit maupun yang tidak pernah mendapatkannya adalah sebagai resiko terjadinya suatu penyakit sebesar 96,6% pada kelompok kasus dan 93,5% pada kelompok control. Pemberian vitamin A yang dilakukan bersamaan dengan imunisasi akan menyebabkan peningkatan titer antibodi yang spesifik dan tampaknya tetap berada dalam nilai yang cukup tinggi. Bila antibodi yang ditujukkan terhadap bibit penyakit dan bukan sekedar antigen asing yang tidak berbahaya, niscaya dapatlah diharapkan adanya perlindungan terhadap bibit penyakit yang bersangkutan untuk jangka yang tidak terlalu singkat. Karena itu usaha masal pemberian vitamin A dan imunisasi secara berkala terhadap anak-anak prasekolah seharusnya tidak dilihat sebagai dua kegiatan terpisah. Keduanya haruslah dipandang dalam suatu kesatuan yang utuh, yaitu meningkatkan daya tahan tubuh dan perlindungan terhadap anak Indonesia sehingga mereka dapat tumbuh, berkembang dan berangkat dewasa dalam keadaan yang sebaik-baiknya.
e) Status Imunisasi
Sebagian besar kematian ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi seperti difteri, pertusis, campak, maka peningkatan cakupan imunisasi akan berperan besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status imunisasi lengkap bila menderita ISPA dapat diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan menjadi lebih berat. Cara yang terbukti paling efektif saat ini ialah dengan pemberian imunisasi campak dan pertusis (DPT). Dengan imunisasi campak yang efektif sekitar 11% kematian pneumonia balita dapat dicegah dan dengan imunisasi pertusis (DPT) 6% kematian pneumonia dapat dicegah (Prabu, 2009).
3) Faktor orang tua atau perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA
a) Pendidikan ibu
Pengetahuan seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh melalui jenjang pendidikan. Pendidikan ibu yang rendah sangat mempengaruhi status kesehatan anak, dimana ibu yang pendidikan rendah kurang mempunyai banyak wawasan tentang kesehatan terutama dalam menangani dan mencegah penyakit ISPA pada balita. Pendidikan ibu adalah salah satu faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi kejadian ISPA terutama pneumonia pada bayi dan balita (Prabu, 2009).
b) Pendidikan ayah
Keluarga atau rumah tangga adalah unit masyarakat terkecil. Oleh sebab itu untuk mencapai derajat kesehatan masyarakat yang baik harus dimulai dari keluarga. Orang tua (ayah dan ibu) merupakan sasaran utama dalam pencegahan suatu penyakit. Orang tua yang memiliki pendidikan yang rendah dalam menjaga kesehatan keluarga akan mempengaruhi angka kesehatan anggota keluarga terutama balita (Notoatmodjo, 2003).
c) Pengetahuan ibu
Tingkat pengetahuan ibu berperan besar terhadap kejadian ISPA balita. Hal ini berkaitan dengan perilaku ibu dalam memberikan makanan yang memadai dan bergizi kepada anaknya serta perilaku ibu dalam pencarian pengobatan. Pengetahuan yang tinggi dan praktik pelayanan yang benar akan meningkatkan keberhasilan dalam upaya penurunan angka kesakitan dan kematian karena ISPA terutama pneumonia (Prabu, 2009).
Peran aktif keluarga atau masyarakat dalam menangani ISPA sangat penting karena ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam masyarakat atau keluarga. Hal ini perlu mendapat perhatian serius oleh kita semua karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ini ketika anaknya sakit (Prabu, 2009).
Keluarga perlu mengetahui serta mengamati tanda keluhan dini pneumonia dan kapan mencari pertolongan dan rujukan pada sistem pelayanan kesehatan agar penyakit anak balitanya tidak menjadi lebih berat. Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan dengan jelas bahwa pengetahuan dan peran keluarga dalam praktik penanganan dini bagi balita sakit ISPA sangatlah penting, sebab bila praktik penanganan ISPA tingkat keluarga yang kurang/buruk akan berpengaruh pada perjalanan penyakit dari yang ringan menjadi bertambah berat (Prabu, 2009).
d) Sosial ekonomi
Faktor sosio-ekonomi merupakan salah satu kontributor utama dalam penyakit pernafasan. Terdapat hubungan korelasi negatif antara status social ekonomi dengan morbiditas infeksi saluran nafas. Pada umumnya, status ekonomi yang berhubungan dengan insiden pneumonia diukur dari besarnya rumah tangga, banyaknya kamar, dan banyaknya orang yang menghuni tiap kamar (Prabu, 2009).
Kondisi ekonomi ikut menentukan dalam pengelolaan ISPA. Masyarakat miskin identik dengan ketidakmampuannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar, balita yang hidup dalam keluarga dengan sosial ekonomi rendah cenderung kurang mendapat asupan makanan yang cukup sehingga lebih rentan terkena penyakit (Prabu, 2009).
Sedangkan faktor-faktor yang meningkatkan resiko kematian akibat ISPA menurut Yasir (2009) adalah :
(1) Umur < 2 bulan
(2) Gizi kurang
(3) Berat badan lahir rendah
(4) Tingkat pendidikan ibu yang rendah
(5) Lingkungan rumah
(6) Menderita penyakit kronis
(7) Imunisasi yang tidak memadai
e) Faktor perilaku pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA
Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktik penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga. Peran aktif keluarga dalam menangani ISPA sangat penting karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang ada sehari-hari di dalam keluarga atau masyarakat. Hal ini perlu mendapat perhatian serius karena penyakit ini banyak menyerang balita, sehingga anggota keluarga yang sebagian besar dekat dengan balita mengetahui dan terampil menangani penyakit ISPA ketika anaknya sakit (Prabu, 2009).
4) Perilaku merokok
Asap rokok yang diisap oleh perokok adalah asap mainstreamsedangkan asap dari ujung rokok yang terbakar dinamakan asap sidestream. Polusi udara yang diakibatkan oleh asap sidestream dan asap mainstreamyang sudah terekstrasi dinamakan asap tangan kedua atau asap tembakau lingkungan. Mereka yang menghisap asap inilah yang dinamakan perokok pasif atau perokok terpaksa (Syahriyanti, 2010).
Terdapat seorang perokok atau lebih dalam rumah akan memperbesar risiko anggota keluarga menderita sakit, seperti gangguan pernapasan, memperburuk asma dan dapat meningkatkan resiko untuk mendapat serangan ISPA khususnya pada balita. Anak-anak yang orang tuanya perokok lebih mudah terkena penyakit saluran pernapasan seperti flu, asma pneumoniadan penyakit saluran pernapasan lainnya. Gas berbahaya dalam asap rokok merangsang pembentukan lendir, debu dan bakteri yang tertumpuk tidak dapat dikeluarkan, menyebabkan bronchitis kronis, lumpuhnya serat elastindi jaringan paru mengakibatkan daya pompa paru berkurang, udara tertahan di paru-paru dan mengakibatkan pecahnya kantong udara (Dachroni, 2002).
g. Pencegahan ISPA
Keadaan gizi dan keadaan lingkungan merupakan hal yang penting bagi pencegahan ISPA. Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah ISPA adalah (Yasir,2009) :
1) Mengusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik
a) Bayi harus disusui sampai usia dua tahun karena ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi,
b) Beri bayi makanan padat sesuai dengan umurnya
c) Pada bayi dan anak, makanan harus mengandung gizi cukup yaitu mengandung cukup protein (zat putih telur), karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral
d) Makanan yang bergizi tidak berarti makanan yang mahal, Protein misalnya dapat di peroleh dari tempe dan tahu, karbohidrat dari nasi atau jagung, lemak dari kelapa atau minyak sedangkan vitamin dan mineral dari sayuran dan buah-buahan
e) Bayi dan balita hendaknya secara teratur ditimbang untuk mengetahui apakah beratnya sesuai dengan umurnya dan perlu diperiksa apakah ada penyakit yang menghambat pertumbuhan.
2) Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisasi, agar memperoleh kekebalan dalam tubuhnya, anak perlu mendapatkan imunisasi yaitu DPT (Depkes RI, 2002).imunisasi DPT salah satunya dimaksudkan untuk mencegah penyakit pertusis yang salah satu gejalanya adalah infeksi saluran nafas.
3) Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan. Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan modal utama bagi pencegahan penyakit ISPA. Sebaliknya perilaku yang tidak mencerminkan hidup sehat akan menimbulkan berbagai penyakit. Perilaku ini dapat dilakukan melalui upaya memperhatikan rumah sehat, desa sehat dan lingkungan sehat.
4) Pengobatan segera apabila anak sudah positif terserang ISPA. Sebaiknya orang tua tidak memberikan makanan yang dapat merangsang rasa sakit pada tenggorokan , misalnya minuman dingin, makanan yang mengandung vetsin atau rasa gurih, bahan pewarna, pengawet dan makanan yang terlalu manis. Anak yang terserang ISPA, harus segera dibawa kedokter.
0 comments:
Post a Comment