Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat
penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia termasuk
Indonesia sehingga seluruh negara menjadi terikat dan harus
melaksanakan komitmen tersebut.
Upaya mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG), di Indonesia
dituangkan dalam kebijakan nasional sebagaimana ditetapkan dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999, UU No. 25 th. 2000 tentang
Program Pembangunan Nasional-PROPENAS 2000-2004, dan dipertegas dalam
Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender
(PUG) dalam Pembangunan nasional, sebagai salah satu strategi untuk
mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender.
Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan
ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini
dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia.
Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi
tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun
pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak
adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum
laki-laki.
Salah satu bentuk diskriminasi gender di Indonesia adalah ”pelacuran”
yang mana secara umum pelacuran adalah penyediaan pelayanan seksual
dengan imbalan uang. Akhir-akhir ini kalangan feminis diperkenalkan
istilah ”pekerja seks komersial” yang mencoba mengangkat posisi sosial
pelacur menjadi setara dengan orang pencari nafkah yang lain dan
berlaku tidak hanya bagi perempuan saja tetapi juga laki-laki dan kaum
transvertit (seseorang yang secara anatomis laki-laki, tetapi secara
psikologis merasa menganggap dirinya seorang perempuan). Dan laki-laki
homoseksual. Meskipun pada umumnya hanya kaum laki-laki homoseks yang
memerlukan pelacur laki-laki, akhir-akhir ini ada kecenderungan jasa
tersebut dipergunakan kaum perempuan. Sebelum adanya istilah pekerja
seks komersial, di Indonesia oleh kalangan resmi diperkenalkan istilah
”wanita tuna susila” (WTS) bagi kaum pelacur. Penggunaan istilah ini
menunjukkan bahwa pelacuran hanya dilihat dari aspek kesusilaan dan
hanya di tujukan pada perempuan yang menjadi pelacurnya, tetapi tidak
kepada lelaki, atau konsumen yang menggunakan jasa mereka. Alasan klasik
dari pelacuran masa sekarang adalah kemiskinan.
Penyelesaian masalah pelacuran ini akan sangat tergantung kepada
bagaimana kita melihat hal tersebut. Betapapun juga pelacuran merupakan
masalah yang tidak dapat diberantas dengan mudah. Banyak negara yang
tegas-tegas memiliki undang-undang anti pelacuran, seperti Thailand dan
Indonesia, tetapi semua orang juga mengetahui bahwa pelacuran tetap
hadir di negara tersebut.
PERMASALAHAN
Pelacuran merupakan masalah kesehatan dalam arti menyeluruh, yang
meliputi kesehatan fisik, mental dan sosial. Pelacuran dapat menjadi
ancaman bagi kesehatan fisik karena dapat menjadi tempat ”transit”
penyakit menular seksual sebelum menjalar ke pelanggan lain. Pelacuran
dapat menjadi indikasi adanya keadaan sosial yang tidak sehat, dan
juga dapat mengganggu kesehatan mental individu (baik pelacurnya,
keluarga maupun pelanggannya).
Pelacuran dapat memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan,
khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber. Aktivitas pelacur
dapat merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama, terutama
sekali menggoyahkan norma perkawinan sehingga menyimpang dari adat
kebiasaan, norma, hukum dan agama. Pelacuran merupakan masalah yang
tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi lebih dari itu yaitu
merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak orang seperti germo,
para calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya
merupakan laki-laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak
hukum, tetapi pihak yang selalu di persalahkan dalam pelacuran adalah
pihak perempuan, ini merupakan salah satu bentuk diskriminasi gender
A. DEFINISI PELACURAN
1) Pelacuran pada umumnya adalah penyediaan pelayanan seksual dengan
imbalan uang. Menurut Geoffrey, Pelacuran adalah Penjualan pealayanan
seksual kepada siapapun juga tanpa keterlibatan emosi sama sekali.
2) Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti
oral seks atau hubungan seks, untuk uang. Seseorang yang menjual jasa
seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah
pekerja seks komersial (PSK).
3) Pelacuran merupakan pekerjaan yang barang kali setua kehadiran
masyarakat manusia dibumi ini, ada indikasi bahwa jenis pekerjaan ini
memang diciptakan oleh manusia, terutama oleh kaum laki-laki.
B. FAKTOR-FAKTOR PERKEMBANGAN PELACURAN
1) Faktor ekonomi mempunyai hubungan nyata terhadap perkembangan
pelacuran. Ada kecenderungan pendapatan keluarga yang kurang memadai
akan memberikan dampak positif terhadap, karena sebagian besar
kasus-kasus pelacuran diakibatkan oleh faktor ekonomi.
2) Faktor psikologis mempunyai hubungan nyata dengan persepsi wanita
terhadap perkembangan pelacuran, yakni faktor jalinan kasih sayangnya
antar anggota keluarga kurang harmonis cenderung persepsinya positif
terhadap perkembangan pelacuran,tetapi masalah diatas tidak hanya
menjadi akibat penyebab pelacuran oleh karena adanya alternative
tindakan lain yang lebih elegan untuk mengekspresikan kekurang
harmonisan hubungan antar anggota keluarga.
3) Faktor kelembagaan tidak mempunyai hubungan nyata dengan perkembangan pelacuran.
C. AKIBAT MASALAH PELACURAN
1) Bahwa pelacuran merupakan pukulan terhadap rumah tangga dan
keluarga, menyebar kebohongan, dan memperlemah tali perkawinan serta
memperlemah kepribadian.
2) Pelacuran dapat menggangu kesehatan umum, menyebarkan penyakit.
3) Pelacuran akan meracuni generasi muda, terutama wanita menjadi objek
eksploitasi pihak ketiga yang hanya bergerak untuk mengejar
keuntungan.
4) Pelacuran mendorong berkembangnya penyelewengan-penyelewengan,
kecurangan-kecurangan dan perbuatan melanggar hokum pejabat negara.
5) Mendorong ke arah kriminalitas seksual sehubungan dengan gairah remaja.
6) Melemahkan pertahanan nasional melalui kemampuan kaum pria dimana pelacur sering digunakan untuk memegang peranan.
Dengan demikian, pelacuran merupakan ancaman terhadap sex morality,
kehidupan rumah tangga, kesehatan, kesejahteraan kaum wanita, dan
bahkan menjadi problem bagi pemerintah lokal.
D. KLASIFIKASI PELACURAN
Menurut Michael Blowfield mengklasifikasikan ”industri ” pelacuran
dalam dua kategori, yaitu sektor formal dan sektor informal. Walaupun
di Indonesia tidak ada pelacuran formal, namun dalam pengertian
pengelolaannya diatur dalam undang-undang. Blowfield menyebut bahwa
yang termasuk dalam kategori ” industri sex sektor formal” adalah :
- kompleks lokalisasi
- tempat pijat (massage parlons)
- klab malam
- perempuan pendamping
- penyedia perempuan panggilan
- penjaja seks dijalanan
- diskotik
Sedangkan yang dimaksud dengan ”pekerja seks sektor informal ” adalah
mereka yang beropersi secara tidak tetap, serta tidak terorganisasi
secara jelas. Sebenarnya pekerja seks jalanan dan pekerja seks di
diskotik juga tidak selalu terorganisasi secara jelas. Oleh karena itu
pembagian tidak digolongkan sebagai formal atau informal, tetapi lebh
disebut sebagai kelompok terorganisasi dan tidak terorganisasi.
Kelompok yang terorganisai dibedakan adanya pemimpin, pengelola atau
mucikari, dan para pekerjanya yang mengikuti aturan yang mereka
tetapkan, sedangkan yang tidak terorganisai adalah mereka yang bekerja
secara individual. Dalam kelompok yang terorganisasi tersebut adalah
mereka yang bekerja di :
- lokalisasi
- panti pijat
- salon kecantikan (dengan catatan bahwa tidak semua salon kecaantikan menawarkan jasa pelayanan sex )
- penyalur perempuan panggilan
Mereka yang menjajakan diri di jalanan, klab malam, beberapa bar, atau diskotik, sebagian besar tidak terorganisasi.
E. PELACURAN DILIHAT DARI SEKSUALITAS DAN PERILAKU SEKSUAL
Pelacuran adalah salah satu bentuk prilaku seks yang diintervensi oleh
pemerintah, hukum resmi di Indonesia misalnya melarang praktek
pelacuran, tapi pada kenyataan pelacuran tetap ada dan pemerintah tidak
menindak para pelakunya kecuali dalam keadaan tertentu. Misalnya :
terjadi pemaksaan dalam merikrut pelacur, pelacur yang dirikrut masih
dibawah umur. Sebagian berpendapat bahwa pelacuran sebaiknya
dilegalisasi namun diatur dalam bentuk Lokalisasi pelacuran, artinya
hanya didirikan ditempat-tempat tertentu saja yang dengan demikian
memungkinkan pengendalian dan penularan penyakit seksualpun dapat
dihambat. Hal ini juga untuk mencegah anak-anak dibawah umur tidak
mengunjungi daerah-daerah seperti itu, pelacuran merupakan transaksi
antara dua pihak dan karenanya pelacuran akan tetap hadir selama ada
pihak yang mencari dan bersedia mengeluarkan uang untuk itu. Sementara
itu masalah pelacuran akan lebih sulit diselesaikan jika ada kelompok
masyarakat yang secara tradisional memandang hubungan seksual dengan
imbalan bukan dianggap aneh.
Tidak dapat disangkal bahwa mencari kesenangan seksual merupakan bagian
dari sifat manusia terutama kaum laki-laki. Lelaki kaya akan bersedia
merelakan sebagian dari uangnya untuk mendapatkan kesenangan semacam
itu dan disisi lain selalu ada perempuan yang bersedia memenuhi
keinginan seksual untuk memperoleh imbalan dalam bentuk yang lain.
Di Negara2 Eropa beberapa puluh tahun lalu pelacuran dianggap sebagai
kriminal yang dapat dijatuhi hukuman namun sekarang dianggap sebagai
kegiatan “ Industry “ biasa namun dibatasi lokasi-lokasi operasi
mereka. Pada Abad pertengahan, masyarakat Eropa pada umumnya menganggap
pelacuran sebagai penyaluran dorongan seksual laki-laki yang tidak
pernah mengenal siklus seperti halnya pada perempuan. Bahkan dalam
keadaan tidur atau sedang berjalan produksi sperma akan terus
berlangsung dan sejak dulu ada dalih yang mengatakan bahwa karena ada
pelacur maka perempuan lain akan aman berjalan sendirian.
F. PELACURAN DILIHAT DARI KESEHATAN REPRODUKSI
Ditinjau secara keilmuan, Kesehatan Reproduksi adalah ilmu yang
mempelajari alat dan fungsi reproduksi, baik pada laki-laki maupun
perempuan, yang merupakan bagian integral dari sistem tubuh manusia
lainnya serta hubungannya secara timbal balik dengan lingkungannya,
termasuk lingkungan sosial.
Perilaku seksual yang sehat adalah semua bentuk perilaku seksual yang
dapat dinikmati dan tidak menimbulkan akibat, baik gangguan fisik
maupun mental. Berarti, semua perilaku yang dinikmati , tetapi
menimbulkan akibat buruk, perilaku seksual tersebut tergolong tidak
sehat. Sebaliknya perilaku seksual yang tidak menimbulkan akibat fisik,
tetapi tidak dinikmati sehingga menimbulkan gangguan psikis, juga
termasuk tidak sehat.
Penyakit menular seksual yang sangat berhubungan dengan kesehatan
reproduksi diantaranya Gonoroe, Sipilis, Vaginosis Bakterial, Herpes
Genitalis, Kondiloma Akuminata, Tricomoniasis, HIV AIDS. Di Indonesia
beberapa tahun terakhir ini tampak kecenderungan meningkatkan
prevalensi penyakit menular seksual, misalnya Prevalensi Sipilis
meningkat sampai 10% pada beberapa kelompok WTS, 35% pada kelompok
waria dan 2% pada kelompok ibu hamil. Prevalensi Genoroe meningkat
sampai 30-40%. Pada kelompok WTS dan juga pada penderita yang berobat
di rumah sakit. Kelompok prilaku resiko tinggi terhadap penyakit
menular seksual yaitu yang terbesar adalah pada pekerja seksual
komersil atau pada WTS dan sekarang mulai masuk keruang lingkup
keluarga.
Tidak dapat disangkal bahwa masalah pelacuran sangat erat kaitannya
dengan kesehatan reproduksi dan masalah ketimpangan status sosial kaum
perempuan. Perilaku seksual selalu berganti pasangan membuat para
pelacur mempunyai risiko yang tinggi untuk tertulari dan menularkan
penyakit seksual . Tetapi status mereka yang tidak diakui secara tidak
resmi, walaupun ada tempat yang disediakan oleh pemerintah
(lokalisasi), membuat program kesehatan bagi mereka tidak pernah ada.
Oleh karenanya jangan mengharapkan para pelacur ini lebih mengerti
masalah kesehatan seksual dan bersikap lebih aktif dalam menjaga
kesehatannya., karena setidaknya harus ada program penyuluhan bagi
mereka mengenai masalah ini.
Disebagian besar lokalisasi, pemeliharaan kesehatan bagi pekerjanya
dilakukan oleh paramedis atau inisiatif sendiri. Mengingat kualitas
paramedik di Indonesia pada umumnya, sangat sulit diharapkan bahwa
mereka akan melakukan penyuluhan dan konseling tentang penyakit menular
seksual di lokasi-lokasi pelacuran, apalagi mengadakan studi
epidemiologis. Pengbaian terhadap maslah ini hanya karena pelacur
secara resmi dianggap “tidak ada”
Padahal pengabaian ini akan memperbesar resiko mereka dan para
pelanggan mereka untuk tertular penyakit seksual.Pada gilirannya para
pelanggan itu akan menularkan penyakit pada keluarganya
sendiri.Pemerintah sendiri mengalami kesulitan untuk mendeteksi perilaku
sexual masyarakat, terutam kaum remaja yang mencari pemuasan seksual
dengan pelacur.
Ada hal yang menarik untuk dicatat dari laporan M.H.R. Sianturi, yang
mengungkapkan bahwa diantara remaja putri berusia 11-15 tahun, yang
ditelitinya ada beberapa penyakit menular seksual Trichomonas dan Human
Papilloma Virus. Ini mengisyaratkan bahwa kalangan remaja putri dalam
usia yangh masih sangat muda sudah melakukan hubungan seks dengan
laki-laki, bahkan tertular penyakit.Yang lebih menarik lagi adalah
bahwa penelitian ini dilakukan di klinik spesialis swasta. Ini
menunjukkan bahwa mereka yang datang kesana adalah kalangan menengah
keatas.Kembali hendak dikemukakan disini , bahwa bukan masalah ekonomi
yang mendorong remaja putri menjadi pelacur, tetapi lebih karena
pengaruh selera Hedonistik.Dampak perilaku seksual yang sudah merambah
dalam usia yang masih sangat muda ini akan mempengaruhi kondisi
kesehatan reproduksi mereka dikemudian hari. Akibatnya bis terjadi
kemandulan atau beberapa penyakit saluran preproduksi lainnya, terutama
mereka yang sudah pernah terinfeksi oleh HPV (Human Papilloma Virus).
Sementara itu pelacuran juga merupakan maslah kesehatan masyarakat
dalam arti menyeluruh, yang meliputi kesehatan fisik, mental dan
sosial. Pelacuran dapat menjadi ancaman bagi kesehatan fisik karena ia
dapat menjadi tempat ”transit” penyakit menular seksual sebelum
menjalar kepada pelanggan lain.Pelacuran dapat menjadi indikasi adanya
keadaan sosial yang tidak sehat, dan juga dapat menganggu kesehatan
mental individu( baik peacurnya maupun pelanggan dan keluarganya),
karena enimbulkan kecemasan-kecemasan yang tidak seharusnya. Dari sisi
pelacur mungkin muncul juga masalah hubungan keluarga yang tidak serasi
atau keluarga yang delinkuen, yang menjadi faktor pendorong seseorang
menjadi pelacur. Karenanya , pelacuran memang merupakan public issue
dan bukan Privat issue. Sehingga menjadi kewenagan negara untuk
mengaturnya. Meskipun demikian, pengaturan tersebut hendaknya jangan
hanya menampilkan aspek moral agama hanya menganggap dosa terhada
pelacuran, tanpa melihat kenyataan bahwa pelacuran tidak dapat dibasmi
sama sekali.Oleh karena itu perlu ada pengatran yang bermaksud agar
kehadirannya tidak mengancam kesehatan masyarakat secara menyeluruh.
Merancukan pandangan antara pelacuran (sebagai sesuatu yang penuh dosa
dan dikutuk) dengan pelacur sebagai manusia (yang mungkin terpaksa
menjadi pelacur), bukan hanya menimbulan perlakuan tidak hadil terhadap
sesama manusia tetapi juga mempersulit pengendalian dampak buruk
pelacuran terhadap kesehatan masyarakat.
G. PELACURAN DILIHAT DARI GENDER
1) Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan
oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan Sehingga
gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari
waktu ke waktu. Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari
perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena
itu tidak dapat ditukar atau diubah.
2) Gender berasal dari bahasa Latin, yaitu “genus” berarti tipe atau jenis
3) Gender adalah : sifat & perilaku yg dilekatkan pd laki-laki
& perempuan yg dibentuk secara sosial maupun budaya oleh karena
itu tidak berlaku selamanya tergantung waktu (tren) & tempatnya.
Akhir-akhir ini oleh kalangan feminis diperkenalkan istilah pekerja
seks Komersial yang mencoba mengangkat posisi sosial pelacur menjadi
setara dengan orang pencari nafkah lainnya, dan berlaku tidak hanya
pada perempuan saja tapi pada juga laki-laki dan Homoseksual, di
Indonesia istilah pekerja seks komersial tersebut oleh kalangan resmi
diperkenalkan istilah wanita tuna susila (WTS) bagi kaum pelacur.
Penggunaan istilah ini menunjukkan bahwa pelacuran hanya dilihat dari
aspek kesusilaan dan hanya ditujukan pada perempuan yang menjadi
pelacurnya tapi tidak kepada lelaki atau konsumen yang menggunakan jasa
mereka.
Kaum moralis dan agamawan umumnya menganggap pelacuran sebagai penyebab
menurunnya modal masyarakat dan karenanya para pelacur harus dikutuk,
sikap ini tidak cukup adil dan bernada perbedaan Gender karena kutukan
hanya ditujukan kepada pelacur dan tidak kepada kliennya, padahal yang
lebih aktif mencari pelayanan pelacur ini adalah klien-klien yang
umumnya laki-laki merekalah dengan sengaja mendatangi lokasi-lokasi
pelacuran baik yang ada dilokalisasi maupun yang dijajakan ditempat
terbuka dipinggir-pinggir jalan.
H. INTERVENSI PEMERINTAH TERHADAP PELACURAN
Pelacuran merupakan masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya
saja, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan suatu kegiatan yang
melibatkan banyak orang seperti germo, para calo, serta
konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya merupakan laki-laki
yang sering luput dari perhatian aparat penegak hukum.
Di Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya
praktek-praktek pelacuran. Ketidak tegasan sikap pemerintah ini dapat
dilihat pada Pasal 296, 297 dan 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) maupundalam Rancangan KUHP 2006, khususnya Pasal 487 Bab XVI.
Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarang mereka yang membantu dan
menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya larangan diberikan
untuk mucikari atau germo, sedangkan pelacurnya sendiri sama sekali
tidak ada pasal yang mengaturnya. Kegiatan seperti itupun tidak
dikelompokkan sebagai tindakan kriminal. Dalam pelaksanaannya,
penanggulangan pelacuran lebih banyak dilakukan dengan menertibkan dan
menangkap perempuan pelacur yang dilakukan oleh aparat penegak hukum,
sedangkan laki-laki para pelanggan atau konsumennya jarang dan bahkan
tidak pernah ditangkap atau luput dari perhatian aparat penegak hukum.
Cara penertiban seperti ini menunjukkan adanya ketidakadilan gender,
karena terdapat diskriminasi terhadap perempuan. Adanya ketidakadilan
gender dapat menyebabkan sulitnya penanggulangan pelacuran, karena
pelacur merupakan paradigma interaksi antara perempuan dan laki-laki
diluar perkawinan. Dalam interaksi tersebut perempuan diibaratkan
sebagai pihak yang disewa, sedangkan laki-laki (konsumen) sebagai pihak
penyewa. Penanggulangan pelacuran hanya pelacurnya saja selaku pihak
yang disewa dikenakan sanksi sedangkan pihak yang menyewa tanpa diberi
sanksi. Secara normative diskriminasi terhadap perempuan telah
dihapuskan berdasarkan Konvensi Wanita (CEDAW) yang telah diratifikasi
dengan Undang-Undang No.7 Tahun 1984. Namun dalam kenyataannya masih
tampak adanya nilai-nilai budaya masyarakat yang bersifat
diskriminatif. Hal tersebut dapat menghambat terwujudnya kesetaraan dan
keadilan gender dalam penegakkan hukum terkait dengan penanggulanganan
pelacuran.
Soerjono Soekanto (2000:15) menyatakan bahwa untuk dapat terlaksananya
suatu peraturan perundang-undangan secara efektif, itu dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu sebagai berikut:
a. Faktor hukumnya sendiri, baik yang menyangkut sistem peraturannya
dalam arti sinkronisasi antara peraturan yang satu dengan yang lainnya,
peraturan yang mendukung pelaksanaan peraturan yang bersangkutan dan
substansi atau isi dari peraturan tersebut.
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hokum, yang diserahi tugas untuk melaksanakan peraturan
tersebut.
c. Faktor sarana atau pasilitas yang mendukung penegak hokum, yang
mencakup berbagai fasilitas yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan
peraturan tersebut.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Abddurahman senada dengan Soerjono Soekanto (1985:3) banyak
mempengaruhi pelaksanaan undang-undang atau peraturan yang bersangkutan
banyak mempengaruhi pelaksanaan undang-undang atau peraturan yang
bersangkutan.
Faktor-faktor tersebut diatas saling berkaitan erat satu sama lain,
sebab merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur
dari efektivitas berlakunya undang-undang atau peraturan. Keempat
faktor tersebut dapat dikaji berdasarkan Teori Sistem Hukum dari
Lawrence M. Friedman.
Teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman (1969:16) menyatakan: bahwa sebagai suatu sistem hukum dari sistem kemasyarakatan, maka hukum mencakup tiga komponen yaitu:
1. legal substance (substansi hukum); merupakan aturan-aturan,
Norma-norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu
termasuk produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem
hukum itu, mencakup keputusan yang mereka atau aturan baru yang
mereka susun.
2. legal structure (struktur hukum); merupakan kerangka, bagian yang
tetap bertahan, bagian yang memberikan semacam bentuk dan batasan
terhadap keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. Di yang
merupakan struktur dari sistem hukum antara lain; institusi atau
penegak hukum seperti advokat, polisi, jaksa dan hakim.
3. legal culture (budaya hukum); merupakan suasana pikiran sistem dan
kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan,
dihindari atau disalahgunakan oleh masyarakat.
Dari ketiga komponen-komponen dalam system yang saling mempengaruhi
satu sama lainnya tersebut, maka dapat dikaji bagaimana bekerjanya
hukum dalam praktek sehari-hari. Hukum merupakan budaya masyarakat,
oleh karena itu tidak mungkin mengkaji hukum secara satu atau dua
sistem hukum saja, tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan sistem yang
ada dalam masyarakat. Dengan demikian teori sistem hukum ini
menganalisa masalah-masalah terhadap penerapan subastansi hukum,
struktur hukum dan budaya hukum.
1. Penerapan Substansi Hukum
Sebagaimana diketahui, hukum pidana hanya melarang mereka yang membantu
dan menyediakan pelayanan seks secara illegal seperti tertera pada
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 296, 297 dan 506. KUHP
juga melarang perdagangan wanita dan anak-anak di bawah umur. Demikian
pula dalam Rancangan KUHP 2006, Bab XVI mengenai ”Tindak Pidana
Kesusilaan”. Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarang mereka yang
membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya
larangan hanya diberikan untuk mucikari atau germo Meskipun demikian
hukum pidana tetap merupakan dasar dari peraturan-peraturan dalam
industri seks di Indonesia. Karena larangan pemberikan pelayanan
seksual khususnya terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalam
hokum negara, maka peraturan dalam industri seks ini cenderung
didasarkan pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah,
baik pada tingkat propinsi, kabupaten dan kecamatan, dengan
mempertimbangkan reaksi, aksi dan tekanan berbagai organisasi
masyarakat yang bersifat mendukung dan menentang pelacuran tersebut.
Unsur-unsur pokok adanya pelacuran adalah adanya hubungan kelamin atau
seksual antara pelacur dengan pelanggan atau konsumennya. Sebagian
besar para pelanggannya merupakan para lelaki hidung belang (julukan
bagi laki-laki yang senang pada pelacur). Membahas masalah laki-laki
dan perempuan dalam penanggulangan pelacuran, maka teori yang
dipergunakan untuk menganalisis dipergunakan teori hukum berspektif
feminis (Feminist Legal Theory/Feminist Yurisprudence Theory) dari D.
Kelly Weisberg.
Teori hukum berspektif feminis ini mempunyai dua komponen utama yaitu:
a. Eksplorasi dan kritik pada tataran teoritik terhadap interaksi antara hukum dan gender.
b. Penerapan perspektif feminis terhadap lapangan hukum yang kongkrit
seperti: keluarga, tempat kerja, hal-hal yang berkaitan dengan pidana,
pornografi, kesehatan reproduksi, dan pelecehan seksual, dengan tujuan
mengupayakan terjadinya reformasi dalam bidang hukum.
Kedua komponen tersebut menyatakan bahwa teori hukum berspektif feminis
tersebut menyelidiki dan mengritisi baik pada tataran teoritik
maupunpenerapan berspektif feminis terhadap lapangan hukum terutama
berkaitan dengan pelacuran atau pelecehan seksual.
Feminisme tersebut memiliki tujuan sebagai berikut (Endang Sumiarni, 2004:59):
a. Mencari cara penataan ulang mengenai nilai-nilai di dunia dengan
mengikuti kesamaan gender (jenis kelamin) dalam konteks hubungan
kemitraan universal dengan sesama manusia.
b. Menolak setiap perbedaan antar manusia yang dibuat atas dasar perbedaan jenis kelamin.
c. Menghapuskan semua hak-hak istimewa ataupun pembatasan-pembatasan tertentu atas dasar jenis kelamin.
Teori hukum berspektif feminis tersebut menginginkan adanya kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan yang ingin mencari peluang kebebasan
atau kemerdekaan untuk perempuan.
Perempuan pelacur bukanlah satu-satunya pemikul tanggungjawab ketika
praktek-praktek pelacuran tumbuh subur dan berkembang di kota-kota
besar. Dengan ini menunjukkan adanya ketidakadilan gender karena pihak
konsumen pelacur yang sebagian besar laki-laki tidak dapat dikenakan
sanksi. Dimana pihak perempuan dianggap mendorong timbulnya pelacuran
karena perempuan selalu dijadikan obyek kekuasaan laki-laki, artinya
perempuan dapat diinginkan atau dicampakkan kalau sudah tidak
diperlukanlagi.
2. Kriminalisasi Prostitusi di jalanan
Dalam pasal 488 RUU KUHP telah melarang ” setiap orang yang
bergelandangan dan berkeliaran di jalan atau tempat umum dengan tujuan
melacurkan diri”. Semangat dari pasal ini tidak jauh berbeda dari
Perda-Perda tentang pelacuran atau anti maksiat yang saat ini muncul di
berbagai wilayah seperti salah satunya Perda No.8 tahun 2005 tentang
Anti Pelacuran di Tangerang yang dalam implementasinya telah
menimbulkan kerugian pada kelompok perempuan. Perempuan harus membatasi
gerak-geriknya, cara busana dan aksesnya pada malam hari untuk
terhindar dari anggapan bahwa mereka pelacur.
Mereka dibayang-bayangi kekhawatiran akan ditangkap dandigiring ke pos
polisi serta dipermalukan di depan umum sebagaimana yang telah dialami
oleh beberapa perempuan korban sweeping berdasarkan Perda tersebut.
Meski rumusannya lagi-lagi netral tetapi dapat diduga dengan mudah dan
telah terbukti, dalam prakteknya perempuanlah yang akan rentan menjadi
sasaran. Tidak hanya karena selama ini stereotype pelacur dilekatkan
pada perempuan, tetapi juga karena yang disasar adalah cara berbusana,
gerak-gerik dan ekspresi tertentu yang diidentikan dengan seksualitas
perempuan atau jenis laki-laki yang menjadi ”perempuan” (waria), tetapi
tetap dalam konstruksi seksualitas ’perempuan’. Ketentuan ini jelas
sangat diskriminatif dan mencerminkan pandangan masyarakat yang ’doble
standard’, memberikan stigma kepada perempuan yang terlibat dalam
prostitusi ketimbang laki-laki sebagai konsumen dan sebagai pihak yang
secara aktif terlibat dalam mereproduksi demand dengan berbagai cara.
Dalam konteks ini seksualitas perempuan yang dipermasalahkan dan
disalahkan sementara priviladge seksual laki-laki tetap terpelihara dan
tidak pernah dipersoalkan.
Akhirnya, tidak ada kata yang tepat menggambarkan dampak dari pasal
ini, kecuali bahwa pasal ini akan ’sangat menzalimi’ kelompok perempuan
secara umum dan khususnya perempuan kelas bawah yang karena banyak
sebab mereka melakukan aktifitas tertentu di malam hari seperti
perempuan yang terpaksa dilacurkan (prostituted women) atau masuk dalam
industri hiburan dan seks. Semangat pasal ini juga bertentangan dengan
upaya pemberantasan perdagangan perempuan salah satunya melalui UU
Traffiking (UU TPPO), dimana pelacuran merupakan salah Satu bentuk
perdagangan orang.
Dalam konteks ini mereka yang terlibat sebagai prostitusi khususnya
dari kelas bawah yang terpaksa ’menjajakan’ diri di jalanan merupakan
korban dari berbagai sistem yang ada dan salah satunya dalam bentuk
kejahatan perdagangan orang. Atinya mereka harus diberikan hak-haknya
untuk mendapatkan perlindungan serta pemberdayaan bukan justru
dikriminalkan. Bila kelak pasal ini lolos dan disahkan maka berbagai
Perda diskriminatif terhadap perempuan yang seharusnya sudah dicabut
malah justru mendapatkan gantungan baru, di legitimasi dalam sebuah
produk hukum yang lebih tinggi yakni UU yang berlaku untuk semua
wilayah (nasional). Ini tentunya merupakan ancaman bagi negeri ini
untuk mewujudkan peradaban yang lebih baik untuk semua, khususnya dalam
perlindungan dan penegakan hak-hak asasi manusia.
3. Penerapan Struktur Hukum
Lawrence M.Friedman, menyebutkan bahwa struktur dari sistem hukum
merupakan bentuk dari keseluruhan instansi-instansi penegak hukum. Di
Indonesia yang merupakan struktur dari sistem hukum tersebut, yaitu:
Advokat, Polisi, Jaksa, Hakim dan para penegak hukum lainnya.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam penanggulangan pelacuran yaitu
dengan langkah preventif dan represif. Langkah preventif yang dilakukan
dalam penanggulangan pelacuran yaitu dengan mengadakan
penyuluhan-penyuluhan mengenai penanggulangan pelacuran. Penyuluhan
diberikan kepada tokoh-tokoh masyarakat, pemuda anggota karang taruna,
ibu-ibu anggota PKK diberbagai desa dan kelurahan yang menjadi lokasi
pelacuran. Selanjutnya tindakan yang tergolong sebagai langkah represif
yaitu melakukan tindakan terhadap penanggulangan pelacuran dengan
hukum pidana (KUHP), karena sebagaimana telah diungkapkan di atas,
bahwa tidak ada pasal-pasal yang berhubungan langsung dengan
pelacur,melainkan hanya germonya dan perdagangan perempuan yang dapat
diancam pidana.
Ketentuan atau aturan yang digunakan adalah dengan menggunakan
ketentuan-ketentuan Pemerintah Daerah masing-masing baik dituangkan
dalam Perda ataupun suatu kebijakan operasional lainnya.
Tindakan-tidakan tersebut berupa , Tindakan razia terhadap pelacuran
Langkah-langkah represif lainnya terhadap penanggulangan pelacuran yang
dilaksanakan oleh Tim Penertiban Tuna-Tuna, meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut :
a. Mengidentifikasikan lokasi pelacuran dan personal pelacurnya sendiri
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada waktu identifikasi ini
kalau dipandang perlu, petugas-petugas kadang-kadang melakukan
penyamaran, dengan mendatangi lokasi-lokasi pelacuran untuk mengetahui
secara jelas.
b. Apabila lokasi dan pelacurnya maupun germonya telah dapat
diidentifikasikan, maka kemudian dilakukan razia siang maupun malam
hari.
c. Mereka yang terjaring diseleksi secara ketat dengan menanyakan KTP
atau identitas diri, pekerjaan dan asal-usulnya. Selanjutnya para
pelacur dikumpulkan pada rumah penampungan (rumah pembinaan mental)
yang letaknya di Kantor Dinas Ketentraman dan Ketertiban.
d. Para Pelacur yang telah terkumpul kemudian dibuatkan
biodatanya,difoto dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan Tindak Pidana
Ringan (Tipiring). Selain itu mereka juga membuat pernyataan bersedia
direhabilitasi atau dibina selama dipandang perlu.
e. Mereka kemudian diadili oleh Pengadilan Negeri Denpasar,termasuk
para germonya. Razia yang sudah dilakukan baik terhadap pelacur maupun
germo yang telah terjaring adalah mereka yang sudah pernah terkena
razia sebelumnya.
4. Penerapan Budaya Hukum (Kultur Budaya)
Untuk dapat melakukan kajian yang holistik terhadap budaya hukum, maka
diperlukan suatu pendekatan dari aspek hukum empiris yang memungkinkan
dapat berlakunya hukum di masyarakat.
Dalam kaitan dengan budaya hukum Lawrence M.Friedman membedakannya menjadi dua bagian, yaitu:
a. Budaya hukum eksternal (external legal culture)
Budaya hukum ekternal adalah budaya hukum dari warga masyarakat secara
umum sedangkan budaya hukum internal adalah budaya hukum dari kelompok
orang-orang yang mempunyai profesi di bidang hukum seperti hakim,
Birokrat dan lain-lainnya. Menurut Friedman, kekuatan-kekuatan sosial
secara terus menerus mempengaruhi sistem hukum.
b. Budaya hukum internal (internal legal culture).
Budaya hukum ekternal adalah budaya hukum dari warga masyarakat secara
umum sedangkan budaya hukum internal adalah budaya hukum dari kelompok
orang-orang yang mempunyai profesi di bidang hukum seperti hakim,
Birokrat dan lain-lainnya. Menurut Friedman, kekuatan-kekuatan sosial
secara terus menerus mempengaruhi sistem hukum, kadang-kadang ia
merusak, memperbaharui, memperkuat, atau memilih untuk lebih menampilkan
segi-segi tertentu. Dalam melihat hukum sebagai suatu sistem yang
terdiri dari unsur-unsur sebagaimana yang dikemukakan oleh Lawrence M.
Firedman yaitu Struktur, substansi dan kultur atau budaya, dimana
unsur-unsur yang satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi dalam
bekerjanya hukum pada kehidupan sehari-hari.
Perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dan perkembangan yang tidak
sama dalam kebudayaan, mengakibatkan ketidak mampuan banyakndividu
untuk menyesuaikan diri, mengakibatkan timbulnya disharmoni,
konflik-konflik eksternal dan internal, juga terjadinya disorganisasi
dalam masyarakat dalam diri pribadi.
Perbuatan-perbuatan ini berupa penyimpangan dari pola-pola umum yang
berlaku. Perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan dari kegiatan
pelacuran yang merupakan budaya masyarakat yang dibenarkan menurut
sistem tata nilai sub budaya mereka, walaupun perilaku tersebut
dianggap keliru oleh norma-norma budaya yang lebih besar. Dari
perilaku-prilaku yang dianggap keliru oleh norma-norma budaya yang
lebih besar maka kegiatan pelacuran muncul beberapa konflik kepentingan
di tengah masyarakat disamping adanya hubungan antara pelacur dengan
masyarakat setempat secara harmonis.
5. Perspektif agama terhadap Pelacuran
Dalam ajaran agama manapun, termasuk Islam, perempuan serigkali
dianggap sebagai obyek belaka. Dalam hal seksualitas, “tradisi
keagamaan” tidak memberikan hak kepada para perempuan sebagai makhluk
bebas, seabagaimana kaum laki-laki.Sebagai contoh, dalam filosofi fiqh
terdapat perbedaan pandangan mengenai hak dari perempuan untuk
menikmati hubungan seksual dengan suaminya.
1. Universitas Indonesia, 2002, Bahan Kuliah II. Kesehatan Reproduksi.
2. Riechard D. Meanulty, Explocity Human Sexuality, Second Edition.
3. WHO, 2003, Propit Kesehatan Reproduksi Indonesia, Depkes RI, Jakarta
4. Yayasan Pendidikan Kesehatan Perempuan, 2006, Integrasi Gender HAM dalam Konsep Asuhan Kebidanan.
5. http://www.aquateencentral.com/images/characters/tera.jpg
Saturday, 11 April 2015
PELACURAN dan GENDER
Artikel Terkait PELACURAN dan GENDER :
ASUHAN KEPERAWATAN SINDROM NEFROTIKASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK “MR”DENGAN SINDROM NEFROTIK (SN)DI RUANG PERAWATAN ANAK RSU. LABUANG BAJI MAKASSARI. DATA UMUMa. Ide ...
MAKALH DAN CONTOH ASKEP ULKUS PEPTIKUM v\:* {behavior:url(#default#VML);} o\:* {behavior:url(#default#VML);} w\:* {behavior:url(#default#VML);} .shape {behavior:url(#d ...
Gambar Bungkus Rokok di Indonesia Kurang SeramPenasihat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau, Kartono Muhammad, menilai peringatan bergambar atau pictorial health warning (PH ...
MAKALAH TUMOR OTAK BAB I KONSEP MEDISA.Definisi Tumor otak merupakan sebuah lesi desa ...
Struktur dan Fungsi DarahDarah adalah cairan yang terdapat dalam tubuh yang berfungsi mengangkut zat-zat dan oksigen yang dibutuhkan oleh jaringan tubuh, ...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment