Friday, 21 March 2014

MAKALAH DAN ASUHAN PADA DEMAM TINGGI PADA USIA TUA



Konsep Medis
A.      Defenisi
Aging (penuaan) dihubungkan dengan sejumlah perubahan pada fungsi imun tubuh, khususnya penurunan imunitas mediated sel. Fungsi system imunitas tubuh (immunocompetence) menurun sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi menurun termasuk kecepatan respons immun dengan peningkatan usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih sering terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik.aandyn04.blogspot.comHal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah penyakit yang berkembang secara lambat dan gejala-gejalanya tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu, produksi immunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang jumlahnya sehingga vaksinasi yang diberikan pada kelompok lansia kurang efektif melawan penyakit. Masalah lain yang muncul adalah tubuh orang tua kehilangan kemampuan untuk membedakan benda asing yang masuk ke dalam tubuh atau memang benda itu bagian dari dalam tubuhnya sendiri (autobody immune).
Difisiensi makro dan mikronutrient umum terjadi pada orang tua yang menurunkan fungsi dan respons system imun tubuh. Malnutrisi pada kelompok lansia harus diwaspadai sejak dini termasuk memikirkan kembali efektifitas pemberian vaksin bagi orang tua dalam mencegah penyakit infeksi seperti influenza. Penyakit infeksi yang banyak diderita oleh orang tua dapat dicegah atau diturunkan tingkat keparahannya melalui upaya-upaya perbaikan nutrisi karena dapat meningkatkan kekebalan tubuh. Jika fungsi imun orang tua dapat diperbaiki, maka kualitas hidup individu meningkat dan biaya pelayanan kesehatan dapat ditekan.
Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi merupakan penyebab kematian yang paling penting pada umat manusia, sampai saat digunakannya antibiotika dan pencegahan dengan imunisasi aktif maupun pasif di era mayarakat modern. Infeksi pada usia lanjut (lansia) merupakan penyebab kesakitan dan kematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskular di dunia. Hal ini terjadi karena beberapa hal antara lain adanya penyakit komorbid kronik yang cukup banyak, menurunnya daya tahan/ imunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasi usila sehingga sulit/ jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini.
Sedangkan demam tinggi (Hiperpireksia) adalah suatu keadaan dimana suhu tubuh lebih dari 41,1oC atau 106oF (suhu rectal). Demam adalah satu dari manifestasi yang paling menonjol, terutama bila bersamaan dengan infeksi. Bakteriemia biasanya menginduksi demam dengan meningkatnya suhu secara dramatik, menghasilkan apa yang disebut ‘spike’ pada grafik suhu.
B.       Epidemiologi
Dengan meningkatnya umur harapan hidup, jumlah kelompok usia lanjut akan makin banyak, yang menyebabkan tingginya penyakit degenerative, kardiovaskuler, kanker dan penyakit non infeksi lain. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa penyakit infeksi juga makin banyak. Hal ini antara lain disebabkan karena pada usia lanjut pertahanan terhadap infeksi terganggu atau dapat dikatakan menurun . Penyakit infeksi mempunyai kontribusi cukup besar terhadap angka kematian penderita sampai akhir abad 20 pada populai umum, kemudian menurun setelah ditemukan antibiotika dan teknik pencegahan penyakit. Walaupun demikian revalensi infeksi sebagai penyebab morbiditas dan motalitas tetap tinggi pada populasi lanjut usia.
Suatu laporan penelitian yang membandingkan kasus – kasus kematian karena infeksi tertentu antara tahun 1935 dan 1968 di Amerika Serikat menggambarkan pengaruh infeksi terhadap kelangsungan hidup umat manusia, misalnya pertusis, morbili difteri, demam kuning, tetanus, polio mielitis akut, tuberculosis dan sifilis sebagai penyebab kematian bermakna pada tahun 1935.
Walaupun penyakit infeksi tersebut sudah dapat dikendalikan pada populasi umum, pada usia lanjut masih menjadi masalah, Karena berkaitan dengan menurunnya fungsi organ akibat proses menua. Bahkan di Amerika sendiri dimana kemajuan ilmu kedokteran tidak disangsikan lagi, angka kematian akibat beberapa penyakitinfeksi pada lansia masih jauh lebih tinggi disbanding dengan yang didapat pada usia muda, dengan data-data sebagai berikut:
1.         Angka kematian pneumonia pada lansia sekitar 3 kali disbanding usia muda,
2.        Angka kematian akibat sepsis 3 kali disbanding pada dewasa muda,
3.        Angka kematian akibat ISK lansia sekitar 5-10 %,
4.       Kolesistisis angka kematian antara 2-8 kali,
5.       Endokarditis infeksiosa kematian 2-3 kali, meningitis bakterialis sekitar 3 kali.
Karakteristik penyakit infeksi yang sering diderita lansia yaitu:
Bakteria
o   pneumonia
o   infeksi saluran
o   kencing/kandung kemih
o   endocarditis
o   diverticulitis
o   meningitis
o   TBC
o   ulcer/tukak lambung dikaitkan dengan  penurunan sirkulasi

Virus
o   influenza
o   herpes zoster


C.      Faktor Resiko
Infeksi berarti keberadaaan mikro-organisme di dalam jaringan tubuh “host”, dan mengalami replikasi. Infeksi merupakan interaksi antara kuman (agent), host (pejamu, dalam hal ini adalah lansi tersebut) dan lingkungan. Pada usia lanjut terdapat beberapa factor predisposisi/factor resiko yang menyebabkan seorang usia lanjut mudah terkena infeksi, antara lain adalah:
1)        Faktor penderita lansia
o   Keadaan nutrisi,
o   Keadaan imunisasi tubuh,
o   Penurunan fisiologik berbagai organ,
o   Berbagai proses patologik (ko-morbid) yang terdapat pada penderita tersebut
2)       Faktor kuman
o   Jumlah kuman yang masuk dan bereplikasi,
o   Virulensi dari kuman
3)       Factor lingkungan : apakah infeksi di dapat masyarakat, rumah sakit atau di panti rawat werdha (nursing home)
Dan factor-faktor lain yang dapat mempengaruhi penderita yaitu:
Faktor nutrisi :
      Keadaan nutrisi, yang pada usia lanjut sering kali tidak baik dapat mempengaruhi awitan, perjalanan dan akibat akhir (outcome) dari infeksi. Secara klinik keadaan ini dapat dilihat dari keadaan hidrasi, kadar hemoglobin, albumin, beberapa mikro nutrient yang penting, misalnya kadar Cu maupun Zn. Juga beberapa vitamin yang penting pada proses pertahanan tubuh.
Faktor imunitas tubuh :
      Beberapa faktor imunitas tubuh, antara lain imunitas alamiah (inate immunity), misalnya kulit, silia, lender mukosa dll sudah berkembang kualitas dan kuantitasnya, demikian pula dengan factor imunitas humoral (berbagai immunoglobulin, sitokin) dan seluler (netrofil, makrofag, limfosit T).
Faktor perubahan fisiologik :
      Beberapa organ pada usia lanjut sudah menurun secara fisiologik, sehinggga juga sangat mempengaruhi awitan, perjalanan dan akhir infeksi. Penurunan fungsi paru, ginjal, hati dan pembuuh darah akan sangat mempengaruhi berbagai proses infeksi dan pengobatannya.   Berbagai obat-obatan yang aman diberiakan pada usia muda harus secara hati-hati diberikan pda usia lanjut, karena dapat lebih memperburuk berbagai fungsi organ, antara lain hati dan ginjal.
Faktor terdapatnya berbagai proses patologik  :
Salah satu karakteristik pada usia lanjut adalah adanya multi-patologi. Berbagai penyakit antara lain diabetes mellitus, PPOM, keganasan atau abnormalitas pembuluh darah akan sangat mempermudah terjadinya infeksi, mempersulit proses pengobatannya dan menyebabkan prognosis menjadi lebih buruk.
D.      Etiologi
Demam merupakan respon fisiologis dimana suhu tubuh meningkat akibat pengaturan tulang pada set point di hipotalamus. Suhu tubuh normal memiliki perbedaan yang cukup jauh pada setiap orang dan perbedaan diurnal (tertinggi – malam hari, terendah dini hari).
Suhu tubuh normal berkisar antara 36,50-37,20C. Suhu subnormal di bawah 360C. Demam diartikan suhu tubuh diatas 37,20C, hiperpireksia adalah suatu keadaan kenaikan suhu tubuh sampai setinggi 41,20C atau lebih, sedangkan hipotermia adalah keadaan suhu tubuh di bawah 350C. Biasanya terdapat perbedaan antara pengukuran suhu di aksila dan oral maupun rektal. Dalam keadaan biasa perbedaan ini berkisar sekitar 0,50C, suhu rektal lebih tinggi daripada suhu oral.
29-59% demam berhubungan dengan infeksi, 11-20% dengan penyakit kolagen, 6-8% dengan neoplasma, 4% dengan penyakit metabolik dan 11-12% dengan penyakit lain.
Penyebab hiperpireksi ( demam tinggi ) ialah :
1)        Infeksi 39%, aandyn04.blogspot.com( Parasit, Bakteri,  Viru,  Jamur)
2)       Infeksi dengan kerusakan pusat pengatur suhu 32%,
3)       Kerusakan pusat pengatur suhu saja 18%, dan
4)      11% kasus disebabkan oleh Juvenille Rheumatoid Arthritis,
5)      Infeksi virus dan reaksi obat.
Dari 28 penderita hiperpireksia terdapat 11 penderita (39%) disebabkan oleh infeksi diantaranya 7 penderita disebabkan oleh kuman gram negatif yang mengenai traktus urinaria 4 penderita, intraabdominal 2 penderita dan 1 penderita pada paru. Sedang 9 penderita (32%) disebabkan oleh gabungan antara infeksi dan kerusakan pusat pengatur suhu. Selain itu 5 penderita (18%) disebabkan oleh kerusakan pusat pengatur suhu. Tiga penderita (11%) tidak diketahui penyebabnya.
E.       Klasifikasi
Berdasarkan keadaan hipotalamus (set point meningkat) demam yang berhubungan dengan infeksi dapat digolongkan atas 2 yaitu:
1)        Endogenous pyrogen (E.P):
1.         Leukosit polimorfonuklear (PMN)
2.        Non PMN
2)       Non-endogenous pyrogen (non-EP).

F.       Manifestasi Klinis
Ciri utama pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan meningkatnya temperatur badan dan hal ini sering dijumpai pada usia lanjut, Demam juga biasanya sering tampak tidak terlalu mencolok. Penderita lansia yang jelas menderita infeksi tidak menunjukkan gejala demam. 30-65% usia lanjut yang terinfeksi sering tidak disertai peningkatan suhu badan, malah suhu badan dibawah 360 C lebih sering dijumpai. Penderita dengan sepsis seringkali suhu juga tidak meningkat, akan tetapi justru menurun (hipotermi). Tidak adanya demam ini selain memperlambat diagnosis, juga menurunkan efek fisiologik lekosit dalam melawan infeksi, sehingga angka kematian penderita lansia dengan infeksi tanpa demam akan lebih tinggi daripada apabila disertai demam.
Gejala tidak khas : gejala seperti yang digambarkan pada penderita muda sering tidak terdapat bahkan berubah. Gejala nyeri khas pada apendisitis akut, kolesistitis akut, meningitis, dan lain-lain sering tidak dijumpai. Batuk pada pneumonia sering tidak dikeluhkan, mungkin oleh penderita dianggap sebagai batuk “biasa” . Keluhan dan gejala infeksi menjadi tidak khas yang lain,  berupa kontusio/delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba, badan menjadi lemas dan adanya perubahan tingkah laku sering terjadi pada pasien usia lanjut. Gejala akibat penyakit penyerta (ko-morbid) : sering menutupi, mengacaukan bahkan menghilangkan gejala khas akibat penyakit utamanya, padahal pada penderita lansia penyakit ko-morbid ini sering dan banyak terdapat .
G.      Patofisiologi
Fungsi sistem imunitas tubuh (immunocompetence) menurun sesuai umur. Kemampuan imunitas tubuh melawan infeksi menurun termasuk kecepatan respons imun dengan peningkatan usia. Hal ini bukan berarti manusia lebih sering terserang penyakit, tetapi saat menginjak usia tua maka resiko kesakitan meningkat seperti penyakit infeksi, kanker, kelainan autoimun, atau penyakit kronik. Hal ini disebabkan oleh perjalanan alamiah penyakit yang berkembang secara lambat dan gejala-gejalanya tidak terlihat sampai beberapa tahun kemudian. Di samping itu, produksi imunoglobulin yang dihasilkan oleh tubuh orang tua juga berkurang jumlahnya sehingga vaksinasi yang diberikan pada kelompok lansia kurang efektif
Pada demam oleh karena infeksi, kuman sebagai penyebab melepaskan suatu polisakarida yang tahan panas, disebut sebagai pirogen eksogen yang beredar dalam darah. Infeksi menimbulkan demam karena endotoksin bakteri merangsang sel PMN untuk membuat EP.aandyn04.blogspot.com Pada penyakit infeksi terdapat peningkatan sel PMN. Pada percobaan binatang telah dibuktikan bahwa pirogen eksogen tidak langsung mempengaruhi pusat pengatur suhu, tetapi lewat banyak sel dalam tubuh seperti sel leukosit, sel Kupfer hati, sel makrofag dalam paru, limpa dan kelenjar limfe bereaksi terhadap pirogen eksogen dan membentuk protein yang tak tahan panas, disebut pirogen endogen (endogenous pyrogen). Pirogen endogen masuk ke susunan saraf pusat melalui darah dan menyebabkan pelepasan prostaglandin E di dalam jaringan otak dengan akibat rangsangan terhadap hipotalamus yang peka terhadap zat tersebut sehingga menimbulkan panas.
Hipotalamus mengandung kadar yang tinggi dari norepinephrin (NE). 5-hydroxytryptamin (5HT), acetylcholine, dopamine dan histamin, yang semuanya disebut neurotransmitter dari hipotalamus, yang turut meregulasi suhu tubuh. Pada percobaan binatang dibuktikan bahwa apabila NE disuntikkan ke dalam hipotalamus menyebabkan penurunan suhu tubuh, 5HT menyebabkan kenaikan suhu dan acetylcholine juga menyebabkan kenaikan suhu. Mekanisme yang dapat mengaktifkan EP belum diketahui. Juga belum diketahui bagaimana EP mempengaruhi pusat pengatur suhu dalam menimbulkan demam, mungkin dengan mengubah lingkungan kimia neuron set point hipotalamus.
Pirogen endogen dapat terbentuk tanpa mengaktivasi sel leukosit dan hal ini kemungkinan terjadi dengan mengubah lingkungan kimia neuron set-point hipotalamus. Metabolisme pirogen endogen disini belum diketahui dan zat ini dikeluarkan melalui sel retikuloendotelial. Pirogen endogen yang diketahui mencakup TNF, IL-1 dan IL-6. Mereka dilepaskan oleh monosit/makrofag dan sel-sel inang yang lain dalam respons terhadap mikroba dan stimulasi pirogen lain. Aspirin melawan demam dangan melalui inhibisi siklooksigenasi dalam hipotalamus.
 IL-1, IL-6 dan TNF adalah mediator-mediator penting dari reaksi ini. Sitokin-sitokin ini dihasilkan oleh leukosit dan jenis sel lain dalam respon terhadap organisme infeksi atau reaksi-reaksi imunologis dan toksik, yang dilepaskan dalam sirkulasi. IL-1 dan IL-6 mempunyai efek yang sama dalam menghasilkan reaksi fase akut, keduanya menghasilkan demam melalui interaksi dengan reseptor-reseptor vaskuler dalam pusat termoregulator dari hipotalamus dengan aksi langsung dari sitokin atau lebih cenderung melalui induksi produksi prostaglandin lokal (PGE), informasi ini kemudian ditransmisi dari hipotalamus anterior ke posterior ke pusat vasomotor, menyebabkan stimulasi saraf simpatis, vasokonstriksi pembuluh-pembuluh kulit, mengurangi perspirasi dan timbul panas demam. TNF juga menstimulasi pusat hipotalamus secara langsung.
Salah satu komponen utama sistem kekebalan tubuh adalah sel T, suatu bentuk sel darah putih (limfosit) yang berfungsi mencari jenis penyakit pathogen lalu merusaknya. Limfosit dihasilkan oleh kelenjar limfe yang penting bagi tubuh untuk menghasilkan  antibody melawan infeksi. Secara umum, limfosit tidak berubah banyak pada usia tua, tetapi konfigurasi limfosit dan reaksinya melawan infeksi berkurang. Manusia memiliki jumlah T sel yang banyak dalam tubuhnya, namun seiring peningkatan usia maka jumlahnya akan berkurang yang ditunjukkan dengan rentannya tubuh terhadap serangan penyakit.
Kelompok lansia kurang mampu menghasilkan limfosit untuk sistem imun. Sel perlawanan infeksi yang dihasilkan kurang cepat bereaksi dan kurang efektif daripada sel yang ditemukan pada kelompok dewasa muda. Ketika antibodi dihasilkan, durasi respons kelompok lansia lebih singkat dan lebih sedikit sel yang dihasilkan. Sistem imun kelompok dewasa muda termasuk limfosit dan sel lain bereaksi lebih kuat dan cepat terhadap infeksi daripada kelompok dewasa tua.Di samping itu, kelompok dewasa tua khususnya berusia di atas 70 tahun cenderung menghasilkan autoantibodi yaitu antibodi yang melawan antigennya sendiri dan mengarah pada penyakit autoimmune.

H.     Pemeriksaan Diagnostik
1.      Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Dapat ditemukan leukopeni, dapat pula leukositosis atau kadar leukosit normal. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder.
2.    Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak memerlukan penanganan khusus.

3.     Kadar glukosa serum
Untuk mengidentifikasi penurunan yang disebabkan energi yang digunakan untuk respon terhadap dingin atau panas .aandyn04.blogspot.com
4.       Analisa gas darah
Untuk menentukan peningkatan karbondoksida dan penurunan kadar oksigen, mengindikasikan resiko acidosis.
5.        Kadar Blood Urea Nitrogen
Peningkatan mengindikasikan kerusakan fungsi ginjal dan potensial oliguri.
6.       Study elektrolit
Untuk mengidentifikasi peningkatan potasium yang berhubungan dengan kerusakan fungsi ginjal.
7.       Kultur cairan tubuh
Untuk mengidentifikasi adanya infeksi,
8.       Urinalisis
Adanya bakteri penyebab bakteri,
9.       Laktat Serum
Meningkat dalam asiodosis metabolic, disfungsi hati, syok,
I.         Penatalaksanaan
Dalam menanggulangi hiperpireksia ada 3 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu:
 (1) Menurunkan suhu tubuh secara simptomatis,
 (2) Pengobatan penunjang ,dan
 (3) Mencari dan mengobati penyebab.
(1) Menurunkan suhu tubuh secara simptomatis
Dalam menurunkan suhu tubuh secara simptomatik ada 2 hal tindakan yang perlu dipisahkan, yaitu: a) mengeluarkan panas tubuh secara fisik dan b) menggunakan obat-obat.
a) Mengeluarkan panas tubuh secara fisik, ialah:
- Menempatkan penderita dalam ruangan yang dingin dengan aliran udara yang baik, misalnya dengan kipas angin agar sirkulasi udara bertambah
- Membuka baju penderita
- Surface cooling yaitu kompres secara intensif pada seluruh bagian tubuh dengan es, air es atau dengan selimut hipotermik.
b) Menggunakan obat-obatan
Obat-obatan yang dipakai adalah antipretik yang tujuannya untuk menurunkan set point hipotalamus. Obat ini bekerja melalui inhibisi biosintesis prostaglandin E, sehingga mencegah atau menghambat pengaruh pirogen endogen. Bila set point diturunkan, pembentukan panas dikurangi dan pengeluaran panas tubuh akan meningkat, sehingga suhu tubuh akan menurun dan bahkan pada panas yang tak terlalu tinggi kompres es/ selimut hipotermik tidak diperlukan.
(2) Pengobatan Penunjang
Pengobatan penunjang harus segra dan bersamaan dengan menurunkan suhu tubuh secara simptomatis. Hal ini bergantung pada gejala yang timbul, tetapi meskipun demikian kita harus waspada sebab sewaktu-waktu gejala yang memberatkan penderita akan timbul. Penatalaksanaan terdiri atas:
- Mengusahakan jalan napas yang bebas agar oksigenasi terjamin, kalau perlu dilakukan intubasi atau trakeotomi,
- Pasanglah dan pertahankan infus untuk menjamin pemasukan cairan secara teratur dan mempertahankan keseimbangan elektrolit,
- Bila penderita gelisah dapat diberikan sedativa karena kegelisahan dapat menambah pembentukan panas,
- Bila terjadi keadaan menggigil dapat diberikan klorpromazin dengan dosis 2 – 4 mg/ kg BB dibagi dalam 3 dosis.
- Bila terdapat kejang segera hentikan kejangnya
- Bila timbul DIC (disseminated intravascular coagulation) tanggulangi secepatnya. Sebenarnya DIC tidak memerlukan pengobatan bila penyebabnya diobati dengan tepat, tetapi bila terjadi perdarahan hebat dapat diberikan heparin dengan dosis 25 unit per kg BB dalam 1 jam di dalam infuse secara kontinu atau 100 unit per kg BB tiap 4 – 6 jam sekali secara intravena.
- Bila terjadi hipoksia yang dapat mengakibatkan edema otak dapat diberikan kortison dengan dosis 20 -30 mg/ kg BB dibagi dalam 3 dosis atau sebaiknya dexamethasone ½ - 1 ampul setiap 6 jam sampai keadaan membaik. 2
(3) Mencari dan mengobati penyebab
Untuk hal ini diperlukan pemeriksaan lengkap baik secara umum maupun neurologik. Factor infeksi sangat penting dan perlu dikerjakan pemeriksaan darah lengkap termasuk biakan dan pungsi lumbal.  Dengan penatalaksanaan yang baik mengeani hiperpireksia dan ditemukan penyebabnya umumya penderita dapat sembuh. Misalnya pada hipertermia malignan akibat anestesia bila tidak waspada dan tidak diketahui akan berakibat fatal.
Mengingat gejala dan tanda infeksi pada usia lanjut yang tidak khas dan sering menyelinap, maka diagnosis merupakan tonggak penting pada penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut. Untuk hal tersebut asessmen geriatri merupakan tata cara baku yang dianjurkan. Pemeriksaan fisik, psikis dan lingkungan dan pemeriksaan tambahan yang penting secara menyeluruh sesuai form baku perlu dilaksanakan dengan baik, sehingga kemungkinan mis- atau under diagnosis bisa dihindari sekecil mungkin dengan asessmen geriatri ini juga dapat ditegakkan :
Ø   Penyakit infeksi yang terdapat
Ø   Penyakit ko-morbid yang menyertai, antara lain gangguan imunologik, penyakit jantung, ginjal PPOM, penyakit hati dll.
Ø   Gangguan mental/kognitif yang mungkin mempersulit pengobatan
Ø   Sumberdaya sosial/manusia yang ada untuk penatalaksanaan jangka pendek atau jangka panjang
Terapi Antibiotika
         Terapi antibiotika harus segera dilakukan bila semua spesimen untuk pemeriksaan mikrobiologis sudah dikirimkan. Secara empiris antibiotika berspektrum luas, antara lain golongan beta-laktam atau kuinolon dapat diberikan. Antibiotika berspektrum sempit baru bisa apabila hasil kultur dan sensitivitasnya mendukung. Pada usia lanjut, pemakaian antibiotika harus langsung diberikan dengan menggunakan dosis penuh, akan tetapi tetap memperhatikan kemungkinan efek samping yang terjadi.
Terapi Suportif
         Harus selalu diingat bahwa sebagian besar usia lanjut sudah dalam keadaan status gizi yang kurang baik sebelum sakit (keadaan ini pula yang menyebabkan lansia mudah terserang infeksi). Pemberian diet dengan kalori dan protein yang cukup harus diupayakan, bila perlu dengan pemberian nutrisi enteral/parenteral. Hidrasi yang cukup juga seringkali diperlukan untuk membantu penyembuhan penderita. Pemberian vitamin dan mineral (Cu, Zn) seringkali diperlukan pada keadaan gizi yang kurang baik. 
Selain berbagai penatalaksanaan demam yang disebabkan karena invasi bakteri, parasit, virus, dll. Perlu adanya tindakan lain dalam rangk untuk menjaga ataupun mempertahankan imunitas tubuh lansia untuk melindungi system imunitas tubuh agar terhindar dari infeksi yaitu dengan vaksinasi dan perbaikan nutrisi.
Sistem imunitas tubuh orang tua ditingkatkan melalui upaya imunisasi dan nutrisi. Tujuan imunisasi untuk memelihara sistem imunitas melawan agen infeksi. Imunisasi/vaksin mengandung substansi antigen yang sama dengan patogen asing agar sistem imun kenal patogen asing dengan menghasilkan sel T dan sel B. Influenza dan pneumonia adalah dua penyakit yang paling sering diderita oleh orang tua sehingga perlu diberikan vaksinasi influenza bagi mereka. Tetapi respons antibodi tubuh dan response sel T orang tua terhadap vaksin lebih rendah daripada orang muda mempengaruhi efek pemberian vaksin tersebut.
Nutrisi berperan penting dalam peningkatan respons imun. Orang tua rentan terhadap gangguan gizi buruk (undernutrition), disebabkan oleh faktor fisiologi dan psikologi yang mempengaruhi keinginan makan dan kondisi fisik serta ekonomi. Gizi kurang pada orang tua disebabkan oleh berkurangnya kemampuan penyerapan zat gizi atau konsumsi makanan bergizi yang tidak memadai. aandyn04.blogspot.comBerkurangnya asupan kalori diketahui dapat memperlambat proses penuaan dan membantu pemeliharaan sejumlah besar sel T naive dan tingkat IL-2. Konsumsi protein dan asam amino yang tidak cukup mempengaruhi status imun karena berhubungan dengan kerusakan jumlah dan fungsi imun selluler, serta penurunan respons antibodi. Vitamin E dan Zn khususnya berperan penting dalam memelihara sistem imun. Defisiensi Zn jangka panjang menurunkan produksi cytokine dan merusak pengaturan aktivitas sel helper T. Vitamin E merupakan treatment yang baik dalam mencegah penyakit Alzheimer, meningkatkan kekebalan tubuh, dan sebagai antioksidan yang melindungi limfosit, otak, dan jaringan lain dari kerusakan radikal bebas.
J.      Komplikasi
·        Kejang,
·        Koma,
·        Stroke
·        DIC (disseminated intravascular coagulation),
·        Meningitis bakterial,
·        Penyakit jantung kongestif,
·        Gagal ginjal,
·        Gagal hepar,
·        Decompensatio cordis,
·        Gagal napas,
·        Aritmia,
·        Shock,
·        AIDS
·        Tuberkulosis Paru
·        Pneumonia

Konsep Keperawatan
A.   Pengkajian
1. Aktifitas / istirahat
Keletihan , kelemahan, malaise, ketidak mampuan melakukan aktifitas sehari-hari karena sulit bernafas.
2. Sirkulasi
Pembengkakan pada ekstremitas bawah, peningkatan tekanan darah,takikardi, denyut perifer kuat, disritmia, kulit hangat, pucat, lembap
3.   Eliminasi
Diare
4. Makanan / cairan
Mual / muntah, anoreksia, ketidakmampuan untuk makan karena distress pernafasan, turgor kulit buruk, berkeringat, penurunan berat badan, malnutrisi, penurunan haluaran/ konsentrasi urine, oliguria, anuria.
4.    Nerosensori
Sakit kepala, pusing, pingsan, gelisah, ketakutan, kacau mental, disorientasi, koma
6. Pernafasan
Nafas pendek, rasa dada tertekan, dispneu, penggunaan otot bantu pernafasan, ruam eritema macular, menggigil,
7. Keamanan/ nyeri
Riwayat reaksi alergi / sensitif terhadap zat atau faktor lingkungan, kejang abdominal, lokalisasi rasa sakit/ ketidaknyamanan, pruritus.

8. Seksualitas
Penurunan libido, pruritus perineal, maserasi vulva
9.    Penyuluhan/pembelajaran
Masalah kesehatan kronis/ melemahkan, misalnya hati, ginjal, sakit jantung, kanker, DM, kecanduan alkohol
10.  Higiene
Penurunan kemampuan / peningkatan kebutuhan bantuan melakukan aktifitas sehari-hari, kebersihan buruk, bau badan.

C.   Diagnosa Keperawatan

1.          Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
2.        Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual, dan kembung,
3.        Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan peningkatan suhu tubuh
4.       Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan Akumulasi secret
5.       Defisit Perawatan diri berhubungan dengan kelemahan, proses infeksi,
6.       Resiko tinggi terhadap trauma dengan penurunan kesadaran, kejang.
D.   Rencana Keperawatan
DX 1: Hipertermi b.d proses infeksi
Tujuan: - Tidak mengalami komlikasi lanjut
Intervensi Keperawatan.
1.         Kaji Suhu pasien (derajat dan pola), perhatikan mengigil/ diaforesis
Rasional: Suhu 38,9 0- 41, 10C menunjukkan proses penyakit infeksius akut. Pola demam dapat membantu diagnosis. Menggigil sering mendahului puncak suhu.
2.        Observasi suhu lingkungan, batasi/tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
Rasional: Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal.
3.        Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunann alkohol
Rasional: Dapat membantu mengurangi demam, penggunanaan es/alkohol mungkin menyebabkan kedinginan, peningkatan suhu secara aktual. Selain itu juga, alkohol dapat mengeringkan kulit.
4.       Berikan antipiretik, misalnya aspirin, tylenol.
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamaus, meskipun demam mungkin sapat berguna dalam membatasi pertumbuhan organisme, dan meningktakan autodestruksi dari sel-sel yang terinfeksi.
5.       Berikan selimut pendingin
Rasional: Digunakan untuk mengurangi demam umumnya lebih besar dari 39,5 0- 40 0C pada waktu terjadi kerusakan/ gangguan pada otak.

DX2: Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan, mual, dan kembung,
Tujuan  : - Menunjukkan peningkatan berat badan, bebas tanda malnutrisi,
Intervensi Keperawatan:
1.         Awasi pemasukan jumah kalori. Berikan makan sedikit tapi sering dan tawarkan makan pagi dalam jumlah besar.
Rasional: Makan banyak sulit untuk mengatur bila pasien anoreksia. Anorekisa juga paling buruk selama siang hari, membuat masukan makanan yang sulit apda sore hari.
2.        Berikan perawatan mulut sebelum makan
Rasional: Mneghilangkan rasa tidak enak, dapat meningkatkan napsu makan
3.        Dorong pemasukan sari jeruk, minuman karbonat dan permen berat sepanjang hari
Rasional; Bahan ini merupakan ekstra kalori dan dapat lebih mudah dicerna/toleran bila makanan lain tidak
4.       Awasi glukosa darah
Rasional: Hiperglikemia/ hipoglikemia dapat terjadi, memerlukan perubahan diet/ pemberian insulin
5.       Berikan obat Antiemetik (Reglan, Tigan)
Rasional: Dapat menurunkan rasa mual dan meningkatkan toleransi pada makanan.
6.       Berikan tambahan makanan bila dibutuhkan
Rasional: Mungkin perlu untuk memenuhi kebutuhan kalori bila tanda kekurangan terjadi/ gejala memanjang.
DX3: Risiko kurangnya volume cairan berhubungan dengan kurangnya intake cairan, dan peningkatan suhu tubuh.
Tujuan: - Mempertahankan hidrasi adekuat, turgor kulit baik
Intervensi keperawatan
1.         Awasi masukan/haluaran, bandingkan dengan berat badan harian. Catat kehilangan, misalnya diare dan muntah.
Rasional: Memberikan informasi tentang kebutuhan penggantian/ efek terapi. Diare dapat berhubungan dengan respon terhadap infeksi dan mungkin terjadi sebagai masalah yang lebih serius.
2.        Kaji tanda vital, nadi perifer, turgor kulit dan membran mukosa.
Rasional: Indikator volume sirkulasi/ perfusi
3.        Biarkan pasien menggunakan lap katun/ spon dan pembersih mulut untuk sikat gigi
Rasional: Menghindari pendarahan gusi dan trauma
4.       Palpasi denyut perifer
Rasional: Denyut yang lemah, mudah hilang dapat menyebabkan hipovlemisa
5.       Berikan cairan IV, misalnya kristaloid (D5W, NS) dan kolid (albumin, plasma beku segar) sesuai indikasi
Rasional: Sejumlah besar cairan mungkin dibutuhkan untuk mengatasi hipovlemia relatif (vasodilator perifer ), menggantikan kehilangan dengan meningkatkan permeabilitas kapiler.
6.       Pantau nilai laboratorium ( Ht/ jumlah SDM, BUN/ Kr)
Rasional: Ht untuk mengevaluasi perubahan di dalam hidrasi/ visiokositasa darah, sedangkan BUN untuk melihat peningkatan sedang yang akan mereflesikan dehidrasi, nilai tinggi dari BUN mengindikasikan kegagalan ginjal.
DX 4:  Ketidakefektifan jalan nafas berhubungan dengan Akumulasi secret
Tujuan: - Mengefektifkan jalan nafas, mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih / jelas, menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas. Misal : Batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
1.         Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, misal : mengi, krekels, ronki.
Rasional:  Beberapa derajat bronkus terjadi dengan obstruksi jalan nafas, misal: krekels basah (bronkhitis),bunyi nafas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema
2.        Observasi / pantau frekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi mengi (emfisema)
Rasional: Takipnea ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan / selama stress / adanya proses infeksi akut. Pernafasan dapat melambat dan ferkuensi ekspirasi memanjang dibanding inspirasi.
3.        Observasi pasien untuk posisi yang nyaman misal: peninggian kepala tempat tidur, duduk dan sandaran tempat tidur.
Rasional: Meninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi, namun pasien dengan slifres berat akan mencari posisi yang paling mudah untuk bernafas.
4.       Pertahankan polusi lingkungan minimum debu, asap dll
Rasional: Pencetus tipe reaksi alergi pernafasan yang dapat mentrigen episode akut.
5.       Ajarkan teknik nafas dalam batuk efektif
Rasional: Batuk dapat menetap tetapi efektif khususnya bila pada lansia,sakit akut, atau kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi duduk tinggi / kepala dibawah setelah perkusi dada.
6.       Berikan obat sesuai indikasi : Brokodilator mis, B-agonis, Epinefrin (adrenalin, vaponefrim) albuterol (Proventil, Ventolin) terbulatin (Brethine, Brethaire), isoetarin (Brokosol, Bronkometer).
Rasional: Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan spasme jalan nafas mengi, dan produksi mukosa, obat-obat mungkin per oral, injeksi / inhalasi.
7.       Berikan humidifikasi tambahan mis nubuter nubuliser, humidiper aerosol ruangan dan membantu menurunkan / mencegah pembentukan mukosa tebal pada bronkus.
Rasional: Menurunkan kekentalan sekret mempermudah pengeluaran dan membantu menurunkanb / mencegah pembentukan mukosa tebal pada bronkus.           
DX 5: Defisit Perawatan diri berhubungan dengan kelemahan, proses infeksi,
Tujuan : - Melaksanakan aktivitas perawatan diri pada tingkat yang konsisten dengan kemampuan individual
Intervensi Keperwatan
1.         Diskusikan tingkat fungsi umum sebelum timbul ekserbasi penyakit dan potensial perubahan yang sekarang diantisipasi
Rasional:  Dapat melanjutkan aktifitas umum dengan melakukan adaptasi yang diperlukan pada keterbatasan
2.        Pertahankan mobilitas, kontrol terhadap nyeri dan program latihan
Rasional: Mendukung kemandirian fisik/emosional
3.        Kaji hambatan partisipasi dalam perawatan diri. Identifikasi  rencana untuk modifikasi linkungan
Rasional: Untuk meningkatkan kemandirian yang akan meningkatkan harga diri
4.       Konsul dengan ahli terapi okupasi
Rasional: Berguna untuk menentukan alat bantu untuk membantu memenuhi kebutuhan individual
5.       Atur evaluasi kesehatan di rumah sebelum pemulangan dengan evaluasi setelahnya
Rasional: mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin dihadapai karena tingkat ketidakmampuan aktual. Memberikan lebih banyak keberhsilan usaha tim dengan orng lain yang ikut serta dalam perawatan,
DX 6: Resiko tinggi terhadap trauma dengan penurunan kesadaran, kejang.
Tujuan: - Tidak mengalami kejang/ penyulit atau cedera lain
Intervensi Keperawatan
1.         Pantau adanya  kejang/ kedutan pada tangan kaki, tangan, dan mulut atau otot wajah yang lain.
Rasional: mencerminkan adanya iritasi SSP secara umum yang memerlukan evaluasi segera dan intervensi yang memungkinkan untuk mencegah komplikasi
2.        Berikan keamanan pada klien dengan memberi bantalan pada penghalang tempat tidur, pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan napas buatan plastik atau gulungan lunak dan alat penghisap
Rasional: Melindungi pasien jika terjadi kejang
3.        Pertahankan tirah baring selama fase akut. Pindahkan/ gerakan dengan bantuan sesuai membaiknya keadaan
Rasional: Menurunkan resiko terjatuh/trauma ketika terjadi vertigo, sinkope atau ataksia
4.       Berikan obat sesuai indikasi, seperti fenitoin, diazepam, fenobarbital.
Rasional: Merupakan indikasi untuk penanganan dan pencegahan kejang.

Daftar Pustaka
1.      Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
2.     Smeltzer. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Vol.1. Jakarta: EGC
3.     Nugroho. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatrik. Jakarta : EGC
4.    Anonymous. 2009. Hiperpireksia. http://kireihimee.blogspot.com. Last Updated 26 Maret 201l.
5.    Rahmawati. 2010. Asuhan Keperawatan Klien dengan Infeksi pada Usia Lanjut. http://arirahmawati89.blogspot.com. Last Updated 26 Maret 2011
6.    Farmacia. 2010. Demam yang Berujung Kematian. http://www.majalah-farmacia.com. Last updated 25 Maret 2011
7.    Fatmah. 2006. Respon Imunitas yang Rendah pada Tubuh Manusia Usia Lanjut. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Indonesia.

MAKALAH DAN ASUHAN PADA DEMAM TINGGI PADA USIA TUA Rating: 4.5 Diposkan Oleh: viviensinaga

0 comments:

Post a Comment